MENINJAU ULANG PEMBARUAN FIKIH
Studi Kritis Pemikiran Gamal Al-Banna
Oleh: Zainal Fanani*
"Bagaimanapun rumusan fiqh yang
dikontruksikan ratusan tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua
persoalan yang terjadi saat ini. Situasi sosial politik dan kebudayaan sudah
berbeda. Dan kukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu. Jika
hanya melulu pada rumusan teks, bagaimana jika ada hukum yang tidak ditemukan
dalam rumusan tekstual fiqih? Apakah harus mauquf (tidak terjawab)? Padahal memauqufkan
persoalan hukum,hukumnya tidak boleh bagi ulama(fuqaha). Di sinilah perlunya
"fiqh baru" yang mengakomodir permasalahan-permasalahan baru yang
muncul dalam masyarakat. Dan untuk itu kita harus kembali ke manhaj yakni
mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqih serta qowa'id
(kaidah-kaidah fiqih)."
--- DR.KH.MA. Sahal Mahfudh, dalam Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam (2004).
I.Pendahuluan
Makalah
ini akan memperkenalkan sebuah wacana tandingan (counter discourse)
terhadap gagasan Gamal Al-Banna tentang perlunya 'pembaruan fikih' yang tengah
bergemuruh dalam dunia pemikiran Islam. Gamal Al-Banna yang dikenal sebagai
pemikir 'liberal' juga tidak ingin ketinggalan dengan pemikir-pemikir lainnya.Kalau
Nasr Hamid Abu Zaid terkenal dengan tafsir hermeneutika, Muhammad Syahrur
dengan teori limit, Muhammad Abed Al-Jabiri populer dengan kritik nalar Arabnya,
dan Hasan Hanafi dengan Islam Kiri-nya, maka Gamal Al-Banna menyakini buku Nahwa
Fiqh Jadîd (manifesto fikih baru) sebagai proyek yang diadiluhungkannya. Dalam
trilogi magnum opusnya itu, ia ingin mencoba melakukan 'umpan-umpan'terobosan
terhadap fikih klasik yang dinilai telah lama mengalami stagnasi.
Proyek
pembaruan fikih Gamal terkodifikasikan menjadi tiga jilid buku. Buku pertama
yang terbit pada Desember 1995 menggagas tentang konsep baru dalam memahami Al-Qur'an.
Disusul buku kedua (th.1997) merepresentasikan tentang As-Sunnah dan
relevansinya terhadap yurisprudensi islam. Buku ketiga (th.1999) didedikasikan
dalam rangka merekontruksi rancang-bangun ushul fiqh yang telah mapan
selama berabad-abad. Kalau dalam fikih klasik yang dijadikan acuan dalam
menimba hukum adalah Qur'an, Hadits, Ijma', dan Qiyasan sich. Maka dalam
konteks 'fikih baru' yang dijadikan argumentasi adalah akal, nilai-nilai
universal Al-Qur'an, Sunnah, dan adat istiadat ('urf)1.
II.Biografi Gamal Al-Banna
Gamal
Al-Banna dilahirkan pada 15 Desember 1920 M. di kota Mahmûdiyah propinsi Buhairah,Mesir.Ia merupakan adik
kandung dari founding father gerakan Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna.Mulai
aktif dalam dunia tulis menulis sejak tahun 1945 M dengan diterbitkannya buku
perdananya yang berjudul Tsalâts
‘Aqabât fi al-Tharîq ila al-Majd.
Pada usia
mudanya, ia juga pernah aktif disejumlah LSM di Mesir.Pada 1953, ia mendirikan
Asosiasi Mesir untuk Bantuan Narapidana. Tahun 1981, ia mendirikan Persatuan
Buruh Islam Internasional, bersekutu dengan persatuan-persatuan buruh di
Yordania, Maroko, Pakistan, Sudan, dan Bangladesh, yang kantornya di Jenewa,
kemudian pindah ke Rabat, Maroko. Ia juga mendirikan Fawziyya and Gamal
El-Banna Foundation for Islamic Culture and Information dengan adik bungsunya,
almarhumah Fawziyya al-Banna, pada 1997. Gelar doktornya diperoleh dari
Universitas Kairo.
Pernyataan-pernyataan
kontroversialnya juga tidak bisa dikesampingkan ketika ingin mendeskripsikan Gamal Al-Banna. Ia pernah
mengeluarkan fatwa--kalau memang benar fatwa--bahwa orang yang keluar dari
Islam tidak dianggap murtad,menghalalkan nikah mut'ah, perempuan boleh menjadi
imam laki-laki ketika ia lebih mahir dalam ilmu Al-Qur'an, menghalalkan ciuman,
hak tolak tidak hanya monopoli laki-laki, dan sederet statemen kontroversi
lainnya.
Hasyim
Sholeh--spesialis penerjemah karya-karya Mumammed Arkoun--yang terkesima dengan
Gamal Al-Banna, menyepadankannya dengan Martin Luther, reformis Protestan.
Karena keberhasilannya menggali rasionalitas, pencerahan, dan reformasi agama
dari akar ajaran Islam: Al-Quran?
Selain
kontroversial,Gamal Al-Banna juga dikenal sebagai penulis yang prolifik.Jumlah
karyanya hampir mencapai kisaran 150-an.Iapun akhirnya mendirikan sebuah
percetakan Dar Fikr al-Islami diSyâri’ al-Jaisy 195 Cairo 11271.Diantara
karya-karyanya itu adalah al-Mar’at al-Muslimat bain Tahrîr al-Qur'ân wa
Taqyîd al-Fuqahâ'(Wanita Muslimah, antara Pembebasan Al-Quran dan
Pengekangan Fuqaha);Hurriyat al-I’tiqâd fi al-Islâm(kebebasan beraqidah
menurut Islam);al-Islâm Huwa al-Hal(Islam sebagai solusi);Mathlabunâ
al-Awwal Hua al-Hurriyâh(Kebebasan adalah pertama dan utama);al-Tafsîr
bain al-Qudâmâ' wa Muhadatsîn(Tafsir al-Quran;antara Ahli Tafsir Lama
dengan Pembaharu);Nahwa Fiqh Jadîd(manifesto fikih baru);Maysuliyyatu
Fasyli al-Daulah al-Islamiyyah (Tanggung Jawab Kegagalan Negara Islam);al-Hijâb;Jawâz
Imâmat al-Mar'at al-Rijâl;Qadiyyat AL-Fiqh al-Jadîd;Fi al-Târîkh
al-Niqâbi al-Muqâran; Qadiyyah al-Qubulât, dan lain sebagainya2.
III.Proyek Pembaruan Fikih Perspektif Gamal
Al-Banna
a.Memahami Diskursus Al-Qur'an
Selama
ini dalam memahami kitab suci Al-Qur'an,tafsir dengan segala aspek yang
mengitarinya masih menjadi pedoman baku umat Islam di manapun ia berada.Antara
keduanya saling berkait kelindan. Hal ini disebabkan karena tidak semua orang
mampu untuk menafsirkan Al-Qur'an secara independen. Dari sinilah tafsir Al-Qur'an
menemukan relevansinya.
Dengan semakin
meruyaknya tafsir-tafsir yang ada sekarang ini justru menjadi keresahan
tersendiri bagi Gamal Al-Banna.Ia merindukan masa-masa ketika Al-Qur'an turun
dan dibacakan kepada para sahabat. Ketika Al-Qur'an dengan sendirinya mampu
memberi pengaruh lantaran mu'jizat yang terkandung di dalamnya, maka secara
otomatis ia tidak butuh terhadap tafsir3. Tafsir Al-Qur'an menurut
Gamal tak ubahnya 'hutan rimba' yang menutupi Al-Qur'an dan akhirnya dipahami
sepadan dengan Al-Qur'an itu sendiri,di satu sisi. Dan pondasi dari tafsir
sendiri sarat dengan nuansa isrâ'iliyyat,hadits-hadits maudlu', dan
ijtihad-ijtihad ulama yang banyak dipengaruhi oleh kondisi sosio-historis
yang meliputinya,pada sisi yang lain4. Ilmu asbâb an-nuzul yang
menjadi perangkat dalam menafsirkan Al-Qur'an pun tidak lepas dari kritikannya5.
Dalam
perspektif Gamal Al-Banna, Al-Qur'an diandaikansebagai paket tuhan yang turun
dari langit dan transparan,yang hanya dengan membacanya sudah memberi keimanan
terhadap pembacanya.Hal itu disebabkan karena dalam Al-Qur'an mengandung tiga
unsur;irama music (nadzm al-musîqî),seni ilustrasi(at-tashwiru-l-fannî),
psikologi jiwa(al-muâlajah as-sikolojiyah).Jika unsur pertama melalui
ritme ayat Al-Qur'an bisa meluluhkan hati pembacanya.Maka unsur yang kedua akan
menuntun pembaca untuk mengarungi samudra makna Al-Qur'an melampaui batas-batas
linguistik. Kemudian pada unsur ketiga ini Al-Qur'an berposisi sebagai obat
penawar jiwa6.
b.Perluasan dan Penyempitan dalam Studi
Hadits
Selain
penolakannya terhadap tafsir Al-Qur'an, Gamal Al-Banna juga tidak sepakat
dengan nomenklatur Hadits(pembicaraan).Karena Hadits (pembicaraan) hanya bagian
dari as-Sunnah (tradisi). Adalah betul bahwa pakar ilmu Hadits mendevinisikan
hadits dengan, pernyataan, pengakuan dan ketetapan. Dan tiga hal ini merupakan
unsur dari as-Sunnah itu sendiri. Namun apabila ditelaah secara lebih mendalam,
devinisi ini tidak bisa lepas dari cengkraman hadits (pembicaraan). Karena ketetapan
dan pernyataan tidak langsung mempunyai kekuatan hukum. Dia membutuhkan
setempel dari Hadits (pembicaraan). Oleh karenanya, pemahaman hadits selama ini
telah mempersempit salah satu sumber hukum terpenting dalam Islam; As-Sunnah7.Dari
titik ini, Gamal Al-Banna melucuti pemahaman yang telah dipakemkan oleh ulama(abrogasi),
lalu mengisinya dengan pemahamannya sendiri(apropriasi). Yakni dengan melakukan
'perluasan' pemahaman hadits dengan menggunakan as-Sunnah.
Tidak
berhenti sampai di situ, Gamal Al-Banna juga melakukan proses 'penyempitan'.
Setidaknya ada dua permasalahan krusial yang menghegemoni dalam hadits. Pertama,
problem tsubut(originalitas).Kedua, Masalah hujjiyah(kekuatan
hukum). Hal ini disebabkan karena jauhnya rentang waktu antara era Nabi
Muhammad Saw.--di mana Hadits belum dibukukan saat itu--dengan masa khalifah
Umar Ibn Abdul Aziz. Selama rentang waktu itu banyak orang membuat-buat hadits
demi untuk melegitimasi kepentingannya masing-masing. Maka tidak mengherankan jika
hadits ahâd lebih jauh mendominasi dibanding hadits mutawâtir. Dari fakta
inilah yang akhirnya mendorong Gamal Al-Banna untuk sangat berhati-hati dalam
menerima hadits.
Maka,
jalan satu-satunya yang ditempuh untuk mengatasi problem solving di atas
adalah menyulingnya dengan kandungan nilai-nilai universal Al-Qur'an dan
rasionalitas akal. Singkatnya, Gamal Al-Banna ingin mengaplikasikan metodologi
kritik matan(naqdu-l-mutun) secara radikal demi mendapatkan hadits yang
benar-benar otentik dan dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan hukum8.
c.Memahami Paradigma Fikih Moderat
Pada
bagian ini, penulis akan mencoba mengelaborasi salah satu dasar atau unsur
penting dalam fikih moderat. Unsur itu adalah 'urf
(kebiasaan/adat-istiadat). Menurut Gamal Al-Banna, secara genealogis,sejatinya banyak
ayat Al-Qur'an yang menjelaskan artikulasi kata ini. Misalnya; ma'ruf (perbuatan
baik yang sudah terkenal), ma'rifah, 'irfan (keduanya berarti pengetahuan), dan
I'tiraf (pengakuan). Gamal Al-Banna
akhirnya melegitimasi unsur ini dengan ayat Al-Qur'an, As-Sunnah, dan nalar
akal.
Tendensi
dari Al-Qur'an merifer pada QS.al-A'raf:199 yang berbunyi, "jadilah engkau
pemaaf, dan suruhlah agar orang mengerjakan kebaikan serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh". Dari dalil As-Sunnah merifer pada sabda nabi yang
berbunyi "Apa yang dianggap baik oleh orang Islam, juga baik menurut Allah
Swt". Sedangkan berdasarkan nalar rasio, 'urf menjadi dasar hukum
atas pertimbagan berikut; (1)Syariat memerhatikan hukum kausalitas. (2)Adanya
perintah dengan satu standar menunjukkan bahwa syariat memperhitungkan
kebiasaan. Bila tidak, maka akan terdapat banyak standar dalam syariat. (3)Kemaslahatan
masyarakat tidak akan menjadi nyata tanpa memerhatikan kebiasaan mereka. Syariat
datang dan memerhatikan kemaslahatan. Itu berarti kebiasaan juga
diperhitungkan. (4)Bila hukum tidak
memperhitungkan kebiasaan, maka itu berarti hukum tidak sesuai dengan kemampuan
mereka. Itu tidak dibenarkan menurut syariat9.'Urf dalam
persepsi Gamal Al-Banna juga diandaikan sebagai "cerobong modernisasi"
ketika sebelumnya dianak tirikan oleh fikih konservatif. Dan karena begitu
mengkristalnya dalam tradisi masyarakat, maka tidak berlebihan bila akhirnya ia
menjadi ijma'?.10
IV.Kritik "Proyek Pembaruan
Fikih" Gamal Al-Banna
Hal
yang paling problematis dalam 'proyek pembaruan fikih' Gamal Al-Banna menurut
analisa penulis adalah tidak adanya hubungan yang harmonisantara Gamal Al-Banna
dengan capaian yang telah dihasilkan oleh ulama pada masa silam. Mengapa
harmonisasi ini penting? Karena sebagaimana perkataan Isaac Newton, bahwa, kita
berdiri "di atas bahu para raksasa" sebelum kita.Maksudnya, meski zaman
beserta budaya, psikologi, dan tantangan-tantangannya berubah terus, ada saja
yang bersifat perennial dan universal dalam pikiran umat manusia sepanjang
sejarahnya11.Muhammad Abed Al-Jabiri--kritikus turats12
yang juga didapuk sebagai gembong liberal--saja tidak pernah menyatakan bahwa
turats yang menjadi warisan ulama silam harus di musiumkan dan dikubur dalam
sejarah.13
Kaitannya
dengan penolakan Gamal Al-Banna terhadap berbagai macam tafsir Al-Qur'an yang
berkembang sampai sekarang ini--menurut penulis--sangat tidak beralasan,terutama
dari sisi metodologinya. Karena fungsi tafsir di sini adalah sebagai metode
untuk memahami firman Allah Swt. memahami maknanya,dan menggali hukum yang ada
dalam Al-Qur'an14. Benar, bahwa Al-Qur'an adalah kitab yang
transparan dan tembus pandang, tetapi meskipun demikian, tetap saja ada
bagian-bagian yang masih ghumûdyang membutuhkan tafsir.
Sebagai
peneliti yang berusaha untuk obyektif, memang dalam kitab-kitab tafsir,
khususnya jenis tafsir bil ma'tsur banyak berjibun riwayat-riwayat isrâiliyyat.
Tetapi yang mungkin luput dari pembacaan(al-la mufakkar fih) Gamal
Al-Banna-disadari atau tidak-bahwa di sana ada filterisasi dalam menerima
riwayat yang berbau isrâiliyyat.Artinya, riwayat yang ada unsur isrâiliyat
tidak diterima begitu saja,tetapi disuling terlebih dahulu.Bisa ditolerir
selama tidak berkenaan dengan aqidah,diyakini kebenarannya, dan tidak
berlawanan dengan hukum syariat, misalnya yang berkaitan dengan'ibrah
dan mauizhah.15
Al-Wahîdi
dalam kitabnya yang berjudul Asbâbun Nuzûljuga menegaskan pentingnya
perangkat asbabun nuzul untuk menafsiri Al-Qur'an.Ia berujar,
"mustahil untuk menafsirkan Al-Qur'an tanpa menilik cerita dalam Al-Qur'an
dan sebab-sebab turunnya".16 Ibn Taimiyah mengatakan,
"mengetahui asbabun nuzul bisa membantu memahami ayat Al-Qur'an,
karena mengetahui sebab pasti akan menghantarkan untuk mengetahui
musabbab". Senada dengan Al-Wahidi dan Ibn Taimiyah, Ibn Daqiq al-'Ied
juga mengatakan, "menjelaskan asbâbun nuzul adalah metode yang kuat dalam memahami
makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur'an'.17
***
Menurut
Dr. Yusuf Qardlowi, ada beberapa alasan mendasar yang membuat Sunnah
qauliyah untuk dinomer satukan. Diantaranya; jumlah Sunnah fi'liyah
sangat sedikit. Hal ini diperparah dengan kekuatan hukum yang dikandungnya,
yakni hanya menunjukkan jawâzul fi'li. Untuk menjadi hukum Sunnah atau
wajib tetap harus mendapatkan legitimasi dari sabda Nabi Muhammad Saw. Sedangkan
Sunnah qauliah itu merupakan representasi sekaligus primadona dari
Sunnah sendiri, yang merupakan sandaran hukum islam dan representasi dari
dakwah Rasulullah Saw yang paling luhur.18
Menurut
hemat penulis, tuduhan Gamal Al-Banna perihal Sunnah yang tidak selaras dengan
nilai-nilai universal Al-Qur'an harus 'disingkirkan' perlu dibaca ulang lagi. Karena
jika diteliti dari argumentasi yang digunakannya, yaitu hadits yang menyatakan
bahwa apa-apa yang datang kepada-Mu dariku, maka timbanglah dengan Al-Qur'an
untuk mengetahui kebenarannya, jika selaras maka itu sabdaku, dan jika tidak
maka ia bukan dariku. Hadits ini diriwayatkan dengan sanad yang bervariasi, perawinya
pun dlo'if, bahkan munkarul hadits. Yahya ibn ma'in mengatakan,
"ini hadits maudlu yang dibuat oleh orang-orang Zindiq. Senada dengan
Yahya ibn Ma'in, Abdurrahman ibn Mahdi juga berkata, "Hadits ini buatan
orang-orang Khawârij dan Zindiq. Seandainya benar-benar shahih pasti sudah
dikerjakan oleh para sahabat Nabi".19
Memang
benar bahwa imam Syayrâzi dalam kitabnya al-Luma' juga membuat kriteria
tertolaknya suatu Hadits-meski perawinya tsiqah-karena berlawanan dengan
akal (irasional).20 Namun yang perlu diperhatikan, di sana ada
sederet syarat yang harus dipenuhi ketika ingin melakukan kajian kritik matan (naqdu-l-mutun).
Musthafâ As-Sibâ'i dalam kitabnya As-Sunnah wa Makânatuhâ fi at-Tasyrî'
al-Islamî meyebutkan ada 15 kriteria yang harus dilewati. Diantaranya;
tidak bertetangan dengan akal sehat dan panca indera, tidak bertentangan dengan
dasar-dasar aqidah yang berkaitan dengan sifat Allah Swt dan para rasulnya,
tidak berlawanan dengan sunnatullah, tidak berseberangan dengan Al-Qur'an,
muhkam Sunnah, ijma', dan ma'lum min Din bi ad-Darurah, tidak
bertentangan dengan kebenaran sejarah yang sudah diketahui sejak era Nabi,dll.21
Jadi, proyek dekontruksi-rekontruksi Hadits yang dilakukan oleh Gamal Al-Banna
bila tidak lemah dari segi argumentasi metodologisnya, maka hanya sekedar
revitalisasi metodologi ulama-ulama zaman dahulu.
***
Tesis
yang ditawarkan Gamal Al-Banna tentang adat istiadat ('urf) sebagai
salah satu pondasi 'fikih baru'dan pengganti ijma'nampaknya harus segera
dikubur dalam-dalam. Sebelumnya, penulis ingin meruntuhkan argumentasi Gamal
Al-Banna yang bertendensi dengan QS.al-A'raf:199 tentang kehujahan 'urf.
Jika yang dikehendaki Gamal dari ayat itu adalah 'urf secara mutlak, maka
akan sangat problematis, terutama dari tinjauan epistemologinya. Karena yang
dimaksud dari ayat di atas adalah perbuatan baik yang diperintahkan oleh
syari'at. Tentunya 'baik' di sini menurut kaca mata syariat dan tidak seperti
yang dipersepsikan Mu'tazilah.Argumentasinya dengan Haditspun juga sangat
lemah. Setidaknya ada dua alasan yang melatarinya. Pertama, secara
transmisi Hadits itu mauquf sampai Ibn Mas'ud.Kedua, dilalah yang
terkandung dalam Hadits itu merifer pada kehujahan ijma' bukan 'urf.22
Sisi
problematis lainnya adalah sikapnya yang tergesa-gesa menyamakan antara 'urf
dengan ijma'. Mengutip Muhammad Musthafâ Shalbî bahwa terdapat lima
perbedaan yang esensi antara keduanya.Pertama, ijma tidak terjadi tanpa
keterlibatan semua mujtahid. Sedangkan dalam 'urf tidak ada persyaratan
kompetensi ijtihad, sehingga mujtahid atau orang awam memiliki peranan sama
dalam proses pembentukannya.Kedua, Terkadang dalam ijma' terdapat
sandaran dalil yang menunjukkan pada hukum walaupun dilâlah-nya zhannî,
sedangkan dalam 'urf sama sekali tidak terdapat dalil yang
menunjukkannya.Ketiga, ijma' yang berdimensi 'amali (praktik)
bisa terwujud tatkala para mujtahid melakukannya walaupun hanya sekali,
sedangkan terbentuknya 'urf adalah dengan terjadinya sesuatu secara
berulang-ulang dan continu, agar masyarakat mengenali dan menganggapnya sebagai
suatu kebiasaan. Keempat, setelah secara sempurna tercapai, hasil
keputusan ijma' mengikat para peserta ijma' dan selainnya, sedangkan 'urf terkadang
bisa mengikat semua orang ketika sifatnya umum, dan hanya mengikat kalangan
tertentu ketika sifatnya khusus pada kalangan dan kawasan tertentu. Kelima,
'urf dapat berubah, sedangkan ijma' tidak dapat berubah tatkala tidak
disandarkan pada maslahah.23
V.Bermadzhab Secara Qouli dan Manhaji
Sebagai Bentuk Tajdid
Dalam konteks ke-Indonesiaan, tajdid
dalam fikih tidak dimaknai secara radikal, sebagaimana yang digagas oleh Gamal
Al-Banna.Tetapi lebih populis dan apresiatif terhadap tradisi lama dan tidak pula
abai terhadap barang-barang baru. Sehingga dari translasi dua arah ini, fikih
akan tetap relevan terhadap konteksnya(mu'âshir linafsihi) dan relevan
bagi kita(mu'âshir lana) yang hidup di kesinian dan kekinian. Jadi,
dalam konteks seperti ini, tidak dimungkinkan terjadi benturan antara 'yang
lama' dengan 'yang baru'.
Syahdan,menurut KH Achmad Siddiq, sistem
bermazhab24 merupakan salah satu hasil tajdid
yang sangat gemilang. Imam-imam mazhab mu'tabar adalah mujaddid besar yang bukan saja memberi pedoman-pedoman bagi awwalul muslimin (generasi awal kalangan umat Islam), tapi juga mujaddid pada zaman-zaman berikutnya.
yang sangat gemilang. Imam-imam mazhab mu'tabar adalah mujaddid besar yang bukan saja memberi pedoman-pedoman bagi awwalul muslimin (generasi awal kalangan umat Islam), tapi juga mujaddid pada zaman-zaman berikutnya.
Mazhab berarti jalan (pikiran) yang
ditempuh atau pola pemikiran yang mantap terhadap al-Quran dan Hadits. Pola itu
tercermin dalam metode dan kaidah ijtihad
atau istinbath (ushul fiqih dan al-qawa'id al-fiqhiyah);
dan juga dalam kumpulan (rangkaian) hasil-hasil ijtihad atau istinbath (al-fiqh).
Jadi, tajdid dengan bermazhab ini mengambil dua bentuk: aql mukawwin dan
aql mukawwan. Aql mukawwin merupakan bentuk penalarannya, atau dalam
bahasa pesantren disebut bermazhab secara manhaji(metodologis). Alat dan
metodenya adalah ushul fiqih dan qawa'id fiqhiyah, sehingga
memungkinkan dilakukan ijtihad atau istinbath25.Sementara aql
mukawwan merupakan produk atau hasilnya, atau dalam bahasa pesantren,
disebut bermazhab secara qawli. Para kiai selalu menggunakan dua
instrumen ini. Kadang merujuk kepada qaul ulama dalam kitab kuning, atau
melakukan istinbath secara jamai --misalnya melalui forum-forum bahsul
masail. Metode dan produk ini yang kemudian menggerakkan tradisi menjadi
dinamis, senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan zaman,meski dari akar
yang sama.Jadi, proses dinamisasi antara metode dan produk itulah yang
dimaksudkan oleh Kiai Achmad sebagai tajdid.26
Jika
ditelusuri, akar genealogi bermadzhab dengan menggunakan dua pola; manhaji
(metodologis) dan qauli (tekstual) ini dimulai ketika ada muktamar RMI (Rabithah
al-Ma'had al-Islami) di Pon pes
Darussalam Watucongol, Muntilan, Jawa Tengah, di penghujung tahun 1988. Salah
satu acaranya adalah forum kajian kitab kuning, dengan mengambil tema "Munazharah
Perkembangan Ulum ad-Diniyyah Melalui Kajian Kitab Secara
Kontekstual". Yang berbicara dalam forum ini tidak tanggung-tanggung.
Mereka adalah KH. Abdurrahman Wahid, KH. Ali Yafie, KH. Sahal Mahfudh, dan KH.
M. Tholchah Hasan.27
VI.Penutup
Makalah sederhana ini hanya memotret secuil
dari sekian banyak sisi problematis gagasan Gamal Al-Banna tentang pembaruan
fikih. Kesimpulan penulis, bahwa metodologi pembaruan yang digunakan Gamal
Al-Banna sangat semrawut--untuk tidak berkata ngawur. Oleh sebab
itulah gagasannya banyak yang ditolak. Dan memang sebuah produk pemikiran tidak
bisa dibendung dengan kekerasan. Alih-alih membendung, kekerasan malah justru
menjadi kebodohan sendiri dalam dunia intelektualisme. Jika demikian, maka cara
yang paling efektif dan holistis adalah melakukan serangkaian kritik sembari
tetap berharap kepada Allah Swt. untuk menurunkan taufiq dan hidayahnya.Amin.Wallahu
A'lam.
Catatan
1Mulakhash Nahwa Fiqhin Jadîd,As-Sunnah
wa Dauruhâ fî al-Fiqh al-Jadîd, Cairo, Dar Fikr al-Islamî, hal. 39-41.
4 Gamal Al-Banna, Nahwa Fiqhin Jadîd,
Dâr Fikr al-Islamî, Cairo, t.1996, jus I, hal.104.
5 Gamal Al-Banna, Nahwa Fiqhin Jadîd,
Dâr Fikr al-Islamî, Cairo, t.1996, jus I, hal.102-103, dan 121.
6Mulakhash Nahwa Fiqhin Jadîd, As-Sunnah
wa Dauruhâ fî al-Fiqh al-Jadîd, Dar Fikr al-Islamî, Cairo hal.27.
7 M.Hasibullah Satrawi,Gamal Al-Banna:Martin
Luther Dari Negeri Piramid,majalah bulanan syirah no. 42/V/mei 2005.
8Ada dua belas langkah yang ditempuh Gamal
untuk sampai pada hadits yang dapat dijadikan sumber hukum. Pertama,
tidak menggunakan hadits yang berbicara tentang hal-hal gaib seperti kematian,
kiamat, sorga dan neraka. Karena hal gaib mutlak otoritas Allah. Kedua,
tidak menggunakan hadits yang menafsirkan almubhamat (tidak ketahuan)
dalam Alquran. ketiga, tidak menggunakan hadits yang bertentangan dengan
ajaran fundamental Alquran seperti keadilan dan tanggung jawab personal umat. Keempat,
tidak menggunakan hadits yang berhubungan dengan perempuan. Kelima,
tidak menggunakan hadits yang berbicara mu’jizat inderawi rasul, seperti
pembelahan dada rasul dan lain sebagainya. Keenam, tidak menggunakan
hadits yang membicarakan keistimewaan individu, kabilah atau suku tertentu. Ketujuh,
tidak menggunakan hadits yang bersemangat dengan kebebasan beragama sebagaimana
diakui Alquran. kedelapan, hadits yang tidak sejalan dengan semangat
Alquran harus disesuaikan dengan Alquran. Kesembilan, tidak menggunakan
hadits yang menyatakan bahwa dosa kecil akan dihukum berat. Kesepuluh,
tidak menggunakan hadits yang terkait dengan tata cara makan, minum, berpakaian
dan hal duniawi lainnya. Kesebelas, tidak menggunakan hadits yang
menyuruh taat kepada penguasa. Keduabelas, menolak dua hadits yang
berbicara tentang pembagian warisan. Dua hadits ini pertama, hadits
Abdullan bin Abbas; terapkan faraidl. Jika ada sisa, maka laki-laki lebih
berhak. Kedua, hadits; bagian anak saudara perempuan (mayit) seperti
anak perempuan yaitu ashabah. Menurut Gamal, dua hadits ini dinasakh oleh
ayat 176 dalam Surat Ai-Nisa’.
10Mulakhash Nahwa Fiqhin Jadîd, As-Sunnah
wa Dauruhâ fî al-Fiqh al-Jadîd, Dar Fikr al-Islamî, cairo, hal.41.
11Dr.Haidar Baqir, dalam artikel kritik
untuk islib dengan judul Andai Aku Seorang Muslim Liberal.
12Turâts secara literal berarti warisan
atau peninggalan (heritage, patrimoine, legacy). Dalam ranah pemikiran
kontemporer, turâts adalah kekayaan tradisi kebudayaan dan khazanah intelektual
yang diwariskan oleh para pendahulu. Turâts merupakan warisan tradisi masa lalu--baik
masa lalu yang jauh atau dekat--yang hadir di tengah-tengah kita dan menyertai
kekinian kita. Nomenklatur turâts merupakan asli produk wacana Arab
kontemporer, dan tidak ada equivalent atau padanan yang tepat dalam literatur
bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut. Lihat Muhammad Abed
Al-Jabiri, at-Turats wal Hadatsah:Dirâsât wa Munâqasyât, Beirut, Markaz
Dirasah al-Wihdah al-Islamiyah, Cet.I, t.1991, hal.23-seterusnya.
13Muhammad Abed Al-Jabiri, Nahnu wa
at-Turâts; Qiro'ah Mu'shiroh fî Turâtsinâ al-Falsafî, Beirut, Markaz
Dirasah al-Wihdah al-Islamiyah, Cet.6, t.1993, hal.20.
14Jalâluddîn As-Suyûthî, Al-Itqân fî
Ulum al-Qur'an, Musthâfâ al-Bâbî al-Halbî, Mesir, tt, jus II hal.174.
15Dr.Nuruddin Ietr, Ulûmul Qur'an
al-Karîm, Mathba'ah As-Shobbah, Damaskus, Cet.7, t.1996, hal.75.
16al-Imâm Abî al-Hasan Alî ibn Ahmad
al-Wâhidî(w.1076M), Asbâb An-Nuzûl, Dâr ibn Katsîr, Damaskus, Cet.I,
hal.7.
17Jalâluddîn As-Suyûthî, Lubâb An-Nuqûl,
Dâr Ihyâ' al-Ulûm, Cet.6, hal.1988, hal.13.
18Dr. Yusuf Qardlawi, al-Madkhal li
Dirâsah As-Sunnah al-Nabawiyah, Muassasah Ar-Risalah, Cet.I, tt, hal.26-27.
19Muhamad Musthafa Shalbî, Ushul
Fiqih al-Islamî, Dar an-Nahdlah al-Arabiyah, Beirut, t.1986, hal.122-123.
20 Muhammad Yasin Al-Fadani, Bughyah
al-Musytâq fî Syarh al-Luma' li Abî Ishâq,(ed.Ahmad Darwis), Dâr ibn
Katsîr, Damaskus, Cet.I, t.226, hal.253.
21Dr. Musthafa As-Sibâ'I, Al-Sunnah wa
Makânatuhâ fi at-Tasyrî' al-Islâmî, Dar el-Warrâq,,,…, hal.3001-3002.
22Dr.Abdul Karîm Zaidân, Al-Wajîz fî Ushûl
Fiqh, Muassasah Ar-Risâlah An-Nasyirûn, Bairut-Libanon, Cet.I, hal.202.
23Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik
Teoritis FIQH ISLAM, Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien, PP.Lirboyo Kediri, Cet.4, t.2008. hal.216-217.
24Menurut Norman Calder dalam satu
artikelnya yang dimuat dalam The Oxford Encyklopedia of the Modern Islamic
World, perkembangan fiqih dalam lingkup bermazhab tergantung pada dua
prinsip hermeneutic.Pertama, prinsip sinkronik, yang menegaskan bahwa
setiap formulasi hukum harus merujuk
kepada wahyu sebagai syarat keabsahannya.Kedua, prinsip diakronik, yang
mengharuskan pengikut mazhab mana pun untuk tetap menjaga loyalitasnya terhadap
tradisi dengan menghargai prestasi-prestasi yang telah dicapai ulama-ulama
pendahulu mereka. Maka, suatu pemikiran hokum akan banyak tergantung pada
adanya acuan (reference) yang merujuk pada kesiambungan dan identitas
satu mazhab fiqih.
25Keputusan munas Alim Ulama di
Lampung,1992, diantaranya menyebutkan perlunya bermazhab secara manhajy
(metodologis) serta merekomendasikan para kiai NU yang telah mempunyai
kemampuan intelektual cukup untuk beristinbath langsung pada teks dasar.
Jika tidak mampu maka dilakukan ijtihad jama'i (ijtihad kolektif).
Bentuknya bisa istinbath (menggali dari teks asal/dasar) maupun "ilhaq"(qiyas).
Pengertian istinbath al-ahkam di
kalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya, yaitu al-Qur'an dan
Sunnah akan tetapi-sesuai dengan sikap dasar bermazhab-mentathbiqkan
(memberlakukan) secara dinamis nash-nash fuqaha dalam konteks permasalahan yang
dicari hukumnya. Sedangkan istinbath dalam pengertian pertama (menggali
secara langsung dari al-Qur'an dan Hadits) cenderung ke arah perilaku ijtihad
yang oleh para ulama NU dirasa sangat sulit karena keterbatasan-keterbatasan
yang disadari oleh mereka. Terutama dibidang ilmu-ilmu penunjang dan pelengkap
yang harus dikuasai oleh yang namanya mutjahid. Sementara itu, istinbath
dalam pengertiannya yang kedua, selain praktis, dapat dilakuakan oleh semua
ulama NU yang telah memahami ibarat-ibarat kitab fiqih sesuai dengan
terminologinya yang baku. Oleh karena itu, kalimat istinbath di kalangan
NU terutama dalam kerja bahts al-masailnya Syuriah tidak popular karena
kalimat itu telah popular di kalangan ulama NU dengan konotasinya yang pertama
yaitu ijtihad, suatu hal yang oleh ulama Syuriah tidak dilakukan karena
keterbatasan pengetahuan. Sebagai gantinya dipakai kalimat bahtsul masail
yang artinya membahas masalah-masalah waqi'ah (yang terjadi) melalui
referensi (marâji') yaitu kutub fuqaha (kitab-kitab karya ahli
fiqih). Solusi Problematika Aktual Hukum Islam,(KH.MA.Sahal Mahfudh dalam
Bahtsul Masa'il dan Istinbath Hukum NU;Sebuah Catatan Pendek), Diantama-LTN NU,
Cet.II, t.2005, hal.12-13.
26 Ahmad Baso, Dalam Bukunya NU Studies
(Dirasah Nahdliyah) Buku Kedua: Tradisi dan Tajdid: Nahdlatul Ulama Sebagai
Manhaj Fikri .
27Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan
Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Erlangga, Jakarta, t.2006, hal.40.
*Penulis adalah mahasiswa tingkat III
fakultas syariah universitas al-ahgaff, saat ini beliau aktif dalam kajian
diskusi ilmiah di AMI AL-AHGAFF dan PPI YAMAN.
0 Comments