Eksplorasi Imbas Anti-Qiyâs Ibn Hazm
(Bedah Konstruk Tekstualis-Literalis Madzhab Zhâhirî)
Reportase Acara Bedah Disertasi Dr. Izzuddîn al-Sûdanî
(23/02/12)
Kamis, 23
Februari 2012, Asosiasi Mahasiswa Indonesia (AMI) al-Ahgaff bekerja sama dengan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Yaman sukses menghelat acara Bedah Disertasi
berjudul ”Atsaru Nafyi Abî Muĥammad Ibn Hazm al-Qiyâsa fî Aqwâlihi
al-Fiqhiyyah fî
Kitâbihi al-Muĥallâ” (Penolakan
Ibn Hazm terhadap Qiyâs
dan Pengaruhnya terhadap Kompilasi Hukum Fikih dalam Kitab al-Muĥallâ). Hadir selaku pembedah pada acara tersebut,
penulis disertasi sekaligus Guru Besar Fiqh Muqâran Fak. Syariah wa al-Qânûn al-Ahgaff University, Dr. Izzuddîn Aĥmad
Muĥammad Ibrâhîm al-Sûdanî.
Selain dihadiri
sekitar 300 mahasiswa Al-Ahgaff University, acara yang digelar di Auditorium
Ahgaff Centre Tarim tersebut juga dihadiri oleh puluhan santri Garuda yang
belajar di Ribâth
Tarim dan Dâr
al-Musthafâ.
Jumlah peserta yang ‘membludak’ di luar dugaan ini membuat panitia harus
menambah kursi, makalah dan konsumsi.
“Perkiraan kami yang hadir maksimal 150 peserta, eh.. ternyata dua kali
lipat lebih banyak, syukur-lah !”, ujar Itqonul Himam, Ketua Departemen
Pendidikan PPI yang mengisi sambutan pada acara tersebut, saat diwawancarai seusai
acara.
Mengawali
acara, M. Khotibul Umam, pria asal Pulau Garam Madura yang didapuk sebagai moderator
malam itu memberikan introduksi bahwa nama Ibn Hazm, sebagai salah satu Ulama
yang mewarnai jagat intelektual Islam, sudah cukup populer di kalangan pelajar
dan santri di Indonesia, terutama dengan pendapat-pendapatnya yang selama ini
terkenal ‘syadz’ sehingga Ibn Hazm selalu identik dengan kontroversi.
Hanya saja, kajian mengenai sosok Ibn Hazm selama ini tidak pernah
memperkenalkan sosok Ibn Hazm yang sebenarnya, apalagi menelaah lebih dalam
konsep berfikirnya terkhusus dalam bidang Fikih dan Ushul Fikih. Sehingga acara
ini pun, lanjut Umam, menemukan momentumnya dalam rangka menguak siapa sosok
Ibn Hazm serta untuk membedah lebih jauh peta pemikirannya terutama pada
diskursus penolakannya terhadap qiyâs.
Acara yang
dimulai pukul 20.30 KSA ini dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama diisi dengan
pemaparan profil Ibn Hazm secara ringkas beserta manhaj berfikirnya
secara global, sedangkan sesi kedua merupakan pembahasan inti, yaitu melacak
pengaruh penolakan Ibn Hazm terhadap qiyâs dalam
kompilasi hukum Fikih yang terkodifikasi dalam kitab al-Muĥallâ. Pada sesi
inilah, para hadirin seakan diajak menyelam ke dalam lautan literatur Madzhab
Zhâhirî secara
langsung melalui pemaparan konkrit beberapa contoh kasus hukum yang dicetuskan
Ibn Hazm berdasarkan konsep anti- qiyâs.
Dr. Izzuddîn, yang malam itu tampil
elegan dengan surban khasnya, menegaskan di awal presentasi bahwa disertasi yang
ditulis untuk mengukuhkan gelar doktoralnya di University of Qur’anic and
Islamic Studies, Sudan tahun 2001 ini ditulis secara objektif, dengan berusaha merumuskan
konsep berfikir Ibn Hazm secara proporsional dan sebisa mungkin menjauhi bias
fanatisme. Meskipun di halaman pendahuluan beliau mengaku sangat mencintai Ibn
Hazm, tetapi hal itu sama sekali tidak menghalangi dirinya untuk bersikap
kritis kepadanya di satu sisi, dan tanpa segan menampilkan poin positif dari
konsep yang ditawarkan Ibn Hazm di sisi lain.
Beliau
menjelaskan, bahwa terjadinya perbedaan yang cukup tajam antara mainstream
Ulama yang melegalkan qiyâs sebagai dalil dalam syariat Islam dengan segelintir madzhab
lain – termasuk Zhâhiriyyah
– yang menegasikannya, adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dihindari. Hal itu disebabkan karena qiyâs merupakan
aktivitas ijtihad dalam rangka mengetahui hukum Tuhan, sedangkan ijtihad itu
sendiri merupakan ‘wilayah rentan’ yang kerap menjadi sumber perbedaan. Sikap penolakan Madzhab Zhâhirî terhadap qiyâs bukanlah tanpa alasan. Dalam pandangan Zhâhiriyyah, penggunaan qiyâs dalam pencetusan hukum syariat sama halnya dengan
memproduksi hukum dengan rasio. Padahal, hukum
syariat Islam tidak bisa ditetapkan kecuali berdasarkan dalil yang jelas.
Kemudian, sesi
kedua diawali dengan pemaparan profil singkat kitab al-Muĥallâ,
khususnya mengenai sistematika dan metode penulisannya. Menurutnya, metodologi
penulisan al-Muĥallâ merupakan
representasi nyata ketajaman analisis seorang Ibn Hazm. Dalam kitab setebal 11
jilid tersebut, Ibn Hazm secara lugas dan terperinci menampilkan pendapat
mayoritas pada setiap masalah, lalu ‘membabatnya’ satu-persatu berdasarkan tipologi
berfikir Madzhab Zhâhirî.
Pada
giliran selanjutnya, dosen yang menjabat sebagai Raîs Qism
Fiqh wa Ushûlih ini
mencoba menggiring para hadirin memasuki arena 'pertarungan sengit' antara
mainstream jumhûr ulama
dengan Zhâhiriyyah
melalui dirâsah
tathbîqiyyah
yang diisi dengan penyajian contoh-contoh kasus berikut metode istidlâl
dari masing-masing kubu. Penulisan disertasi yang mengedepankan objektifitas
semakin terbukti, ketika beliau menyuguhkan beberapa contoh kasuistik jumhûr ulama
yang menetapkan hukum berdasarkan qiyâs terbukti
lebih lemah. Sehingga harus diakui, bahwa dalam beberapa permasalahan parsial,
pendapat Zhâhiriyyah
terbukti unggul. ”Dalam banyak tempat, sikap anti- qiyâs yang
ditempuh Ibn Hazm merupakan langkah yang tepat”, ujarnya. Apalagi, dari arah
yang berlawanan, mayoritas Fuqahâ' sering berlebihan dalam memposisikan qiyâs.
Hal ini bisa dilihat di banyak contoh kasus hukum, di mana qiyâs yang
digunakan mereka terkesan tidak perlu dan memang harus dihindari.
Acara
semakin menarik, ketika narasumber dengan tanpa segan menyingkap kontradiksi akut
dalam konsep nalar Ibn Hazm yang menolak segala jenis qiyâs, karena
pada saat yang bersamaan, Ibn Hazm – disadari atau tidak – terjebak dalam
perangkap paradoksal, yaitu ketika dalam banyak kasus terbukti menjadikan qiyâs sebagai
argumen pendapatnya. Salah satunya bisa dilacak dalam bab nikah. Dalam permasalahan
hukum suami melihat farji istri misalnya, Ibn Hazm menentang pendapat sebagian
Fuqahâ' yang
menghukumi haram dengan berargumen “Kalau jimâ’ bisa
menjadi halal sebab akad, mengapa melihat farji tidak?”. Di sini, Ibn
Hazm secara tidak langsung menggunakan qiyâs aulawî sebagai senjata
untuk mengcounter lawannya. “Ini semakin memperkuat hipotesa bahwa qiyâs merupakan
fitrah dan konsekuensi logis dari setiap aktivitas ijtihad yang tidak mungkin untuk
dihindari!”, ujar narasumber.
Acara semakin
‘hangat’ ketika memasuki sesi diskusi. Para diskusan tampak begitu antusias
dalam mengajukan pertanyaan. Hafidz Anshori, mahasiswa mustawa 4, mencoba
mempertanyakan genealogi akar Madzhab Zhâhirî yang menafikan qiyâs.
Pasalnya, jauh sebelum Abû Dâud al-Zhâhirî,
sang pendiri madzhab, penolakan terhadap qiyâs sudah
pernah disuarakan oleh beberapa tokoh Muktazilah seperti Abû Isĥâq Ibrâhîm al-Nazhâm (w. 221 H). Sehingga
menjadi urgen untuk diperjelas, apakah Zhâhiriyyah
dalam diskursus ini membebek pada Muktazilah atau memang konsep ini terlahir secara
independen dari rahim pemikiran mereka.
Pertanyaan
menukik lainnya dilontarkan Muhammad Ali. Menurutnya, jika memang prinsip
tekstualis-literalis ini diterapkan di era kekinian, di mana problematika yang
dihadapi manusia semakin kompleks dan beragam, maka dalam tataran praksis implementasi
dalil syar’i pasti akan menimbulkan ambivalensi, mengingat jumlahnya yang
terbatas. Akibatnya, fikih akan kewalahan membendung deras dan runyamnya
problematika masa kini. Lantas, adakah solusi dari Madzhab Zhâhiriyyah dalam menjawab tantangan kekinian khususnya yang
tidak ada penjelasan sama sekali dari Kitab dan Sunnah?
Melalui
kacamata historis, Dr. Izzuddin dengan cermat mencoba melacak keterpengaruhan
ideologi Muktazilah dalam tubuh Zhâhiriyyah.
Baginya, kedekatan periode antara Muktazilah dengan berdirinya Madzhab Zhâhirî tidak
bisa lantas disimpulkan bahwa Zhâhirî mengadopsi konsep anti-qiyâs dari Muktazilah.
Hipotesa ini semakin diperkuat dengan fakta empiris bahwa salah satu penyebab
utama penolakan mereka terhadap qiyâs adalah
sebagai tindak responsif atas mayoritas Ahlu Ra’yi kala itu yang
terlampau berlebihan dalam melakukan aktivitas qiyâs (al-mubâlaghoh fî
al-aqyisah).
Menanggapi
pertanyaan selanjutnya yang menuntut solusi Zhâhiriyyah
dalam menjawab problematika masa kini, beliau berkata: ”Andaikan Ibn Hazm dan
pengikut Zhâhiriyyah yang lain hidup di era
modern ini, saya optimis mereka akan semakin kebingungan!” ujarnya dengan
sedikit berkelakar diiringi tepuk tangan dan tawa para hadirin. Beliau lalu
menambahkan, bahwa alternatif yang sering ditempuh Zhâhiriyyah
ketika tidak menemukan nash adalah dengan menggunakan dalil lain semisal
Istisĥâb
(kontinuitas), kaidah ’al-Barâah al-Ashliyyah’, dan juga universalitas
teks (’umûm
al-nash).
Di akhir
acara, Dr. Izzuddîn
secara khusus menganjurkan kepada seluruh mahasiswa yang hadir malam itu agar
mulai menelaah kitab al-Muĥallâ. Meskipun bukan untuk dijadikan pegangan dalam
bermadzhab, membaca dan menelaah al-Muĥallâ secara
intens, menurutnya, akan menambah ketajaman analisis seseorang khususnya dalam
’mengencani’ dalil-dalil syari'at. Selain itu, corak penulisan kitab tersebut
akan sangat membantu pengkaji dalam menumbuhkan sikap selektif dan cermat dalam
memahami nash-nash syari'at secara tekstual, sebelum mengkajinya secara kontekstual.
Acara berakhir pukul 23.15 KSA yang kemudian dilanjutkan dengan makan malam
bersama.
[Reporter
: Dzul Fahmi]
0 Comments