Shofwan menganjurkan kepada para diskusan yang hadir agar
bisa bersikap obyektif serta bijak dalam menyikapi pemikiran al-Thufi. Baginya,
untuk memetakan pemikiran al-Thufi secara utuh, pengkaji tidak boleh
mencukupkan kajiannya hanya terhadap buku-buku yang di tulis ulama kontemporer
dalam rangka merespon pemikiran al-Thufi tersebut, melainkan harus langsung
merujuk kitab-kitab usul fikih karya al-Thufi secara langsung seperti Syarh Arbain, Syarh Mukhtashor Roudhoh, dan
lain-lain.
Ia juga menyayangkan, bahwa kebanyakan buku-buku
kontemporer yang ditulis sebagai tanggapan atas pemikiran al-Thufi, diwarnai
nuansa ”penghakiman” atas sosok al-Thufi. Terlebih lagi, setelah sosok al-Thufi
santer diisukan sebagai penganut sekte Syi’ah Rafidah (Syi’ah yang ekstrem).
Biasa, ini adalah semacam “black campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut
sekte Syi’ah maka pendapatnya otomatis salah. Sambil berkelakar, Shofwan
berujar, ”Nasib al-Thufi dalam isu teologi hampir persis dengan yang dialami
Ketua Umum PBNU, Prof. KH. Aqil Siroj beberapa waktu lalu”, cetusnya yang
lantas disambut senyum tawa para hadirin.
* * *
Mayoritas Ulama'
sepakat bahwa hukum-hukum Allah mengandung maslahah bagi manusia di dunia dan
akhirat. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa tujuan akhir syariah adalah
mewujudkan kebahagiaan hakiki bagi manusia. Oleh karenanya, tidak aneh bila
pembahasan mashlahah atau maqosid
al-syariah telah menghiasi karya ulama'-ulama' tempo dulu. Hanya saja, apakah maslahah merupakan dalil mandiri
dalam pencetusan hukum Islam dan apakah ia bisa diutamakan dari teks-teks
syariat? merupakan diskursus klasik yang senantiasa relevan untuk dikaji.
Persoalan inilah
yang coba didiskusikan oleh Forum Diskusi (FORDIS) Asosiasi Mahasiswa Indonesia
Al-Ahgaff bekerjasama dengan Ushul Fiqh Community pada Jum’at (15/06) dalam
acara kajian kontemporer bulanan bertajuk ”Melacak Kontradiksi dalam
Konseptualisasi Maslahat”. Acara yang digelar di Auditorium Fak. Syariah dan
Hukum Universitas Al-Ahgaff, Tarim, tersebut menghadirkan dua pembicara yang
selama ini dikenal intens dalam menggeluti kajian Maqosid Syariah ; M. Shofwan
Jauhari (Koordinator Kepenulisan UFC), dan M. Mahrus Ali (aktivis FORDIS,
pegiat kajian Dhowabit al-Mashlahah). Hamidi Haris, dalam kesempatan tersebut
berperan sebagai moderator. Diskusi yang dimulai pukul 20.30 KSA tersebut
sengaja menjadikan pemikiran Najmuddin al-Thufi, ulama madzhab Hanbali, sebagai
fokus kajian. Sedangkan sebagai wacana tandingan, dihadirkan pula konsep
al-maslahah perspektif Imam Ghazali dan Imam as-Syathibi.
Memulai presentasinya, Shofwan berusaha menyibak diskursus
maslahat dari beberapa aspek ; baik derivasi makna hingga defenisi secara terminologi.
Dia menerangkan, bahwa dalam literatur usul fikih klasik, pembahasan mengenai
maslahat, selain tertuang dalam pembahasan qiyas (analogi), ia juga dibahas dalam
al-âdillâĥ al-mukhtalâf fîîĥâ, khususnya ketika berbicara mengenai Maslahah
Mursalah dan Istihsan. Shofwan lantas memulai kajiannya secara
runtut dari uraian konsep maslahah perspektif mainstream yang direpresentasikan
oleh pemikiran al-Ghazali.
Secara etimologi
maslahah merupakan derivasi dari akar kata shalah yang bermakna manfaat. Atau
bisa juga merupakan bentuk tunggal dari kata plural al-Masholih. Maka
setiap sesuatu yang mengandung kemanfaatan, baik dengan cara
menghasilkan ataupun menjauhi bisa disebut maslahah. Shofwan lalu menambahkan, bahwa
dalam mendefinisikan maslahah secara terminologi, para pakar usul memiliki
pengungkapan definisi yang berbeda-beda namun semuanya kembali kepada maksud
yang sama. Menurut Al-Ghazaly (w. 505 H.), maslahah adalah menarik manfaat dan
menolak mafsadah. Namun yang dimaksud dalam pendefinisian maslahah di sini
adalah pelestarian terhadap tujuan-tujuan syariah yaitu mencakup lima hal,
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan.
Berdasarkan kajian
holistik terhadap tiga literatur Usul Fikih primer karya al-Ghazali yaitu Syifaul
Ghalil, al-Manhul, dan al-Mushtashfa, Shofwan menyimpulkan bahwa maslahah
yang dikehendaki oleh para pakar ushul adalah maslahah yang kembali kepada
maksud Syari' bukan kepada maksud manusia. Hal ini, lanjutnya, karena manusia
memiliki standar berbeda-beda dalam menilai suatu kemaslahatan dan manusia
memiliki kecendrungan memenuhi kepentingan pribadinya tanpa mempertimbangkan
kemaslahatan umum. Bahkan terkadang suatu yang dinilai mafsadah oleh Syara'
dinilai maslahah oleh sebagian manusia.
Sampai disini,
mahasiswa Fakultas Syariah semester delapan asal Sidoarjo ini menyitir salah
satu ungkapan Imam Abu Ishaq as-Syathibi dalam al-Muwafaqot, ”maa min
maslahatin illa wa fii hi mafsadah”, bahwa tak ada kemaslahatan yang
hakiki, karena setiap sesuatu yang dianggap maslahah hampir bisa dipastikan
mengandung mafsadah. Tentu saja, ungkapan as-Syathibi tersebut dilontarkan
dalam konteks penilaian manusia yang semu dan relatif. Karenanya, mayoritas
teorisi hukum Islam (Ushuliyyin) menjadikan kemaslahatan sebagai sesuatu
yang integral dan tak bisa dilepaskan dari teks-teks syariat.
Setelah itu, Shofwan memulai memaparkan konsep maslahah
perspektif Najmuddin al-Thufi. Dalam kacamata analisisnya, di antara pemikir
klasik, Al-Thufi memang merupakan tokoh yang amat berani dalam mewacanakan
paradigma maslahah dalam kancah penggalian hukum syari'at. Dalam kitabnya, al-Ta'yin
fi Syarh al-Arbain, secara tegas ia mengatakan bahwa apabila nash atau
ijma' bertentangan dengan maslahah maka maslahah yang harus dikedepankan.
Seolah mengamini tesis ar-Raisuny dalam bukunya ”al-Ijtihad
: al-Nash, al-Waqi’, al-Mashlahah”, Shofwan menegaskan bahwa al-Thufi tidak
pernah memberikan satu contoh secara riil tentang kontradiksi antara
nash dan maslahah itu. Maka, konsep al-Thufi, menurut Shofwan,
tetap hanya sekedar teori.
Bagi al-Thufi, maslahat bersumber dari konteks sosial.
Jika dalil agama bertentangan dengan konteks sosial, maka konteks harus
didahulukan di atas teks agama. “Mendahulukan” di sini, dalam pandangan al-Thufi,
bukan berarti membatalkan dan menganulir sama sekali dalil agama. Sebaliknya,
konteks sosial dianggap sebagai “pentakhsis” atau spesifikasi dan “bayan” yang
meng-eksplanasi teks atau dalil agama yang ada. Tak pelak, wacana al-Thufi ini
kemudian menjadi polemik di kalangan intelektual Islam kontemporer.
Di akhir
penyampaiannya, Shofwan menganjurkan kepada para diskusan yang hadir agar bisa
bersikap obyektif serta bijak dalam menyikapi pemikiran al-Thufi. Baginya,
untuk memetakan pemikiran al-Thufi secara utuh, pengkaji tidak boleh
mencukupkan kajiannya hanya terhadap buku-buku yang di tulis ulama kontemporer
dalam rangka merespon pemikiran al-Thufi tersebut, melainkan harus langsung
merujuk kitab-kitab usul fikih karya al-Thufi secara langsung seperti Syarh Arbain, Syarh Mukhtashor Roudhoh,
dan lain-lain.
Ia juga
menyayangkan, bahwa kebanyakan buku-buku kontemporer yang ditulis sebagai
tanggapan atas pemikiran al-Thufi, diwarnai nuansa ”penghakiman” atas sosok
al-Thufi. Terlebih lagi, setelah sosok al-Thufi santer diisukan sebagai
penganut sekte Syi’ah Rafidah (Syi’ah yang ekstrem). Biasa, ini adalah semacam
“black campaign“. Seolah-olah jika seseorang menganut sekte Syi’ah maka
pendapatnya otomatis salah. Sambil berkelakar, Shofwan berujar, ”Nasib al-Thufi
dalam isu teologi hampir persis dengan yang dialami Ketua Umum PBNU, Prof. KH.
Aqil Siroj beberapa waktu lalu”, cetusnya yang lantas disambut senyum tawa para
hadirin.
* * *
Nampaknya diskusi
petang itu sangat menarik, apalagi dengan hadirnya pembicara kedua selaku
pembanding, Muhammad Mahrus Ali. Dengan logat bicaranya yang khas, pria asal
Madura yang pada awal Februari lalu telah membedah Kitab Dhowabith Mashlahah
karya Said Ramadhan al-Buthy ini, menyeret diskusi malam itu kepada keragaman
wacana pemikir kontemporer dalam menanggapi pemikiran al-Thufi. Dalam hal ini,
Mahrus menyampaikan tesis yang diungkapkan Abdul Wahhab Khalaf, dan Dr.
Musthofa Zaid.
Menurut Abdul Wahhab Khalaf, al-Thufi dalam konsepnya tersebut telah
melakukan kesalahan. Sebab, sejatinya yang terjadi kontradiksi bukanlah teks
dengan maslahat akan tetapi teks dengan teks yang lain, sehingga yang benar
bukanlah spesifikasi nash dengan maslahah (takhsis al-nash bi al-mashlahah)
akan tetapi spesifikasi nash dengan nash yang lain (takhsis al-nash bin nash
akhor) yaitu sabda Nabi yang berisi larangan berbuat yang saling
membahayakan diri sendiri dan orang lain (la dhororo wa la dhiroro). Tesis
Abdul Wahhab Khalaf tersebut, menurut Abdul Aziz al-Rabi'ah dalam kitabnya, al-Adillah
al-Mukhtalaf Fiha, tidak sepenuhnya tepat. Karena jika ditelusuri lebih
dalam, pendapat ini sama saja dengan pandangan al-Thufi.
Oleh karenanya, Mahrus lantas mengutip pernyataan Dr. Mushtofa Zaid.
Menurutnya, baik disebut tãkĥŝhiŝ bil mãŝlaĥãĥ ataupun tãkĥŝhiŝ bil
al-nãsh al-ãkĥãr, pandangan al-Thufi tetap tidak bisa dibenarkan. Karena
berdasarkan ilmu Usul Fikih, hadis tentang larangan berbuat bahaya adalah teks
berbentuk umum (universal) sementara teks yang diklaim mengandung mafsadah
berbentuk khusus (spesifik), maka mestinya teks yang bermakna khusus inilah
yang menjadi pengkhusus, bukan justru sebaliknya.
Disamping banyak mendapat kritik, pendapat al-Thufi ini juga tidak sedikit
yang menyambut dengan hangat. Asymawi misalnya, pemikir sekuler terkenal
asal Mesir ini dalam bukunya al-Islam al-Siyasiy (Islam Politik)
menganggap pendapat al-Thufi sebagai salah satu celah rasional yang
agung (fathan aqliyyan azhiman). Bahkan para aktivis Jaringan
Islam Liberal di Indonesia juga bisa di anggap sebagai pendukung bahkan lebih
dari sekedar pemikiran at-Thufi ini. Sebab, mereka telah berani mendahulukan
maslahah terhadap nash yang menurut al-Thufi justru merupakan pengecualian.
Implikasinya, mereka terlalu berlebihan dalam memberikan proporsi terhadap akal
sehingga menolak mentah-mentah hukum Hudud, Waris, dan lain sebagainya.
Lebih jelasnya, kata Mahrus, di dalam Kitab al-Ta'yin fi Syarhi
al-Arbain, ketika menjelaskan makna hadits larangan berbuat yang
membahayakan, at-Thufi mengatakan bahwa segala tindakan membahayakan, dinegasikan
secara syar'i kecuali dengan ketentuan nash khusus yang menjadi spesifikasi
universalitas ketentuan tersebut seperti had dan hukuman dalam Islam.
Pengecualian ini, kata at-Thufi, karena had dan hukuman dalam syariat Islam jelas merupakan darar namun ia
disyariatkan secara konsensus berdasarkan nash spesifik. Di sini, al-Thufi
jelas masih mengakui keberadaan hukum yang bersifat qhat’i dan tidak
membuangnya dengan argumen maslahah. Sehingga
bagi Mahrus, pemikiran kelompok liberal sama sekali bukan representasi dari
pemikiran al-Thufi.
Tak lupa Mahrus mengingatkan, bahwa meskipun ulama berbeda pendapat dalam
memposisikan maslahat, namun tafsir berdasarkan kemaslahatan (at-tafsir
al-mashlahy) terhadap teks-teks syariat merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri keberadaannya dalam warisan fuqoha' masa lampau. Oleh karenanya, dalam
mengakhiri presentasinya, Mahrus Ali menegaskan bahwa diskusi-diskusi mengenai
maslahah yang selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa Syariat Islam datang
hanyalah untuk kemaslahatan manusia ini, tidak akan memiliki banyak manfaat
terhadap masyarakat kecuali jika kita berani melakukan langkah maju dengan
melakukan perubahahan metode pencarian jawab problem-problem masyarakat modern,
misalnya dari tekstual menuju ke kontekstual dan dari hanya madzhab Syafii ke
seluruh pendapat ulama secara inklusif.
"Setidaknya, jika kita tidak berani melakukan tafsir al-maslahy
terhadap teks-teks syariat secara langsung maka kita perlu melakukan apa yang kalau
boleh saya sebut dengan al-ikhtiyar al-maslahi, yaitu pemilihan
pendapat-pendapat ulama' berdasarkan
maslahah meski pendapat itu sudah keluar dari Madzahib Al-Arba'ah".
Hal ini, kata Mahrus, bukanlah sikap yang berlebihan sebab kita tetap mengikuti
pendapat-pendapat Ulama masa lampau yang tentunya setelah melalui kajian yang
matang.
Terkait hal tersebut, Mahrus Ali menampilkan
beberapa contoh kasus yang akhir-akhir ini semarak diperbincangkan di tanah air,
seperti polemik nasab anak zina kepada pihak laki-laki, polemik hak mendapat
warisan anak yang muslim dari orang tua yang non-muslim, zakat profesi, dan lain-lain.
Meski ini merupakan pendapat minoritas ulama, kata Mahrus, akan tetapi jika
berdasarkan kajian terhadap fakta di
masyarakat justru lebih bermaslahat maka kita perlu mengambilnya. Ia lantas menambahkan,
bahwa beberapa buku kontemporer seperti Shina'atul Fatwa wa Fiqhul Aqolliyat,
karya Syekh Abdullah bin Bayyah, adalah sangat layak untuk dijadikan pedoman
dalam menjawab problematika kekinian.
Setelah kedua
pembicara berpresentasi, seperti biasa, para diskusan diberi kesempatan untuk
memberikan tanggapan konstruktif demi perbaikan diskusi ke depan, baik dari
sisi penulisan makalah, modul diskusi, pertanyaan-pertanyaan seputar tema,
hingga kesempatan untuk mewacanakan paradigma yang berbeda sama sekali dengan
apa yang telah disampaikan narasumber.
Demikianlah sekelumit reportase diskusi terakhir
yang digelar seminggu sebelum ujian akhir universitas ini. Ditengah carut-marut
revolusi Negara Yaman yang masih belum menentu, ternyata tidak menyurutkan
semangat para aktivis FORDIS dan UFC untuk terus berdinamika, serta menatap
masa depan Islam dan Indonesia, melalui kajian-kajian terhadap turots lewat berbagai
macam pendekatan. Bahkan, diskusi yang dihadiri kurang lebih empat puluh orang
diskusan tersebut, berlangsung hangat dan antusias selama kurang lebih tiga
jam. Bravo FORDIS dan Ushul Fiqh Community !
[Reporter : Dzul Fahmi]
0 Comments