Fenomena Gaya Hidup Transgender Masa Kini
Oleh : Ahmad wahid*
Prolog
قال الله تعالى فى كتابه الكريم : وما خلق الذكر
والأنثى ( الليل: 3).
Artinya: dan penciptaan laki-laki dan
perempuan.
Menurut konsep ayat di atas Alloh Ta’ala hanya menciptakan
manusia laki-laki dan perempuan, tidak ada jenis kelamin ketiga[1], namun
fenomena yang ada pada masyarakat masih ada seseorang yang merasa tidak puas
dan merasa terperangkap karena terjebak di dalam tubuh yang salah, yakni alat
kelamin yang dia miliki tidak sesuai dengan perasaan dan kehendak hatinya.
Diera digital ini sering kita dengar istilah Transgender,Transgender
adalah seseorang yang dalam berbagai level melanggar konvensional norma
kultural mengenai bagaimana seharusnya pria dan wanita itu berperilaku,
berbusana dan bergaya. Seorang wanita secara kultural dituntut untuk berprilaku
lemah lembut gemulai dan tampil feminin, sedangkan seorang laki-laki secara
kultural dituntut tegas dan tampil maskulin.
Walaupun dalam realitasnya kaum transgender adalah minoritas
tapi tetap eksis hingga saat ini, kaum transgender bukan hal baru yang muncul
dipermukaan seperti yang dapat kita saksikan saat ini, tapi sudah ada sejak zaman
Rasullulloh S.A.W, pada awalnya kaum transgeder dianggap sebagai seorang yang
tidak mempunyai syahwat yang berimplikasi bahaya bagi kaum perempuan, sehingga
Istri-Istri Rasululloh S.A.W mengizinkan seorang transgender yang bernama “ Hit
” masuk ke dalam rumahnya, tapi fakta yang ada seorang transgender ini
mempunyai syahwat layaknya pria normal yang dianggap bisa membahayakan kaum
perempuan, sehingga pada hari hari berikutnya beliau nabi melarang Istri Istrinya
memasukan seorang transgender ke dalam rumahnya[2].
Sedangkan status sosial seorang transgender dimata
masyarakat secara umum mungkin dianggap menjijikan karena menyalahi kodrat dan
kultural yang ada, sehingga mereka kerap sekali mendapatkan perlakuan diskriminatif dan
menjadi objek cacian dari orang orang sekitarnya yang selanjutnya akan
mengakibatkan mentalnya terpuruk dan kehilangan gairah hidup.
di era digital ini banyak medis yang menawarkan operasi
ganti kelamin sehingga hal ini bisa dianggap sebagai angin segar bagi mereka;
karena dengan demikian mereka dapat merealisasikan impian mereka selama ini. mereka yang berangan angan dan nekat ingin mengganti alat
kelaminnya sehingga status gendernya jelas dimata.
Pasca operasi ganti kelamin, secara otomatis mereka meminta
identifikasi ulang dari pemerintah setempat untuk perubahan nama dan status
jenis kelamin terkait urusan administrasi negara semisal AKTA, IJAZAH, KTP dll. Untuk
perubahan nama dan status jenis kelamin tentunya tidak semudah membalikan
telapak tangan, tapi harus melalui proses yang rumit yang sampai menyeretnya ke
dalam ranah meja hijau ( pengadilan ).
Melihat fenomena diatas penulis mencoba untuk menyorot gaya
hidup mereka dari perspektif fiqh, menyoal :
1.
Bagaimana fiqh memposisikan kaum transgender?
2.
Bagaimana respon fiqh jika transgender memilih
operasi ganti kelamin sebagai jalan hidupnya?
Dialog
Cara Fiqh memposisikan kaum
transgender
Sebelum melangkah lebih jauh, sayogjanya
kita mengetahui siapa mereka dan bagaimana kriterianya, Sebenarnya istilah
transgender itu sendiri mulai populer ditahun 1970-an, dimana istilah ini
disematkan untuk menggambarkan seseorang yang mengganti indentitas gendernya
tanpa melakukan perubahan organ seks-nya. Lalu, pada tahun 1980-an istilah ini
berkembang, dan menjadi suatu alat pemersatu semua orang yang merasa identitas
gendernya tidak cocok dengan identitas yang telah mereka dapat sejak lahir[3].
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk
mendeskripsikan orang yang melakukan, merasa, berfikir atau terlihat berbeda
dari jenis yang ditetapkan saat mereka lahir[4], tetapi
mereka mempunyai alat kelamin yang sempurna. Semisal seorang laki-laki yang
berkarakter seperti perempuan dalam berperilaku, berpakaian dan berdandan ( Mukhonnist
: arab red ), begitu pula sebaliknya, yakni seorang perempuan yang berdandan
dan berperilaku layaknya seorang
laki-laki atau yang biasa disebut wanita tomboy.
Zanden ( 1984 M ) seorang
psikolog menyatakan : dalam kasus kasus
psikologi istilah belajar pengamatan
memiliki padanan makna dengan istilah-istilah seperti imitasi atau permodelan
(modeling). Istilah istilah itu mengacu pada kecenderungan
individu untuk memunculkan perilaku, sikap dan respon emosional berdasar pada
peniruan terhadap model yang disimbolkan [5].
Melihat
pernyataan Zanden (1984 M) di atas ada
indikasi bahwa pergaulan atau pertunjukan adalah menjadi pemicu yang sangat
krusial dalam pertumbuhan seorang anak yang menjadikannya tumbuh dengan normal
atau abnormal. Namun ironisnya, banyak
sekali pertunjukan di TV yang menampilkan seorang transgender yang dapat
disaksikan oleh publik termasuk anak anak, adalah lazim hal ini secara langsung
memberikan contoh pada anak anak dengan ha hal buruk yang dapat berpengaruh
negatif pada pertumbuhan dan perkembangan mentalnya.
Secara
eksplisit, dengan adanya uraian kriteria tarnsgender di atas, di sini fiqh
memposisikan transgender sebagai layaknya orang normal didalam kehidupannya
sehari hari terkait dalam urusan Ubudiyyah, Mu’amalah, Nikah dan lain
sebagainya karena kaum transgender mempunyai alat kelamin yang sempuran dan cukup
jelas menurut perspektif fiqh, hanya saja disini kaum Transgender memiliki karakter,
perasaan dan emosional yang berbeda yang tidak berpengaruh dalam penentuan
jenis kelamin. Kaum transgender terbagi menjadi
dua golongan :
1.
Kaum transgender yang bawaan dari lahir ( given ), sejak lahir
sudah mengalami kelainan jiwa, sehingga tumbuh menjadi seorang abnormal ( transgender ). Tetapi
disini syara’ tetap memerintahkannya untuk melakukan “ Terapi ”, agar menjadi
orang yang normal, jika sudah melakukan terapi tapi tetap tidak bisa menjadi
layaknya orang normal maka disini fiqh memberikan dispensasi dalam prilaku,
gaya dan sikapnya, yakni hukum haram tidak dijatuhkan pada mereka.
2.
Kaum transgender yang dibuat buat, sejatinya
dia lahir dengan normal tetapi dia tampil layaknya seorang abnormal, semisal seorang pria berdandan make-up layaknya perempuan atau sebaliknya, disini secara mutlak
tidak diperbolehkan oleh syara’[6]. Orang semacam ini masuk dalam hadist :
لَعَنَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهَاتِ
بِالرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهِينَ بِالنِّسَاءِ مِنْ الرِّجَالِ.
(رواه البخاري وأبو داود والترمذي وابن ماجه).
Komentar imam Al-Thabary pada hadist ini: “seorang
laki-laki tidak boleh menyerupai perempuan dalam berpakaian dan berehias yang
didesain khusus untuk perempuan, begitu pula sebaliknya seorang perempuan tidak
diperbolehkan menyerupai laki-laki dalam berpakaian dan berhias”. Al-
Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani menambahkan:”begitu pula didalam berbicara dan
berjalan”, kalau soal busana al-Hafidh menuturkan dikembalikan pada tradisi yang ada pada region
masing masing, karena ada beberapa region yang tidak membedakan antara busana
laki laki dan perempuan hanya saja busana perempuan lebih tertutup[7],
akan tetapi dalam ranah intelektual, opini
dan pendidikan kaum perempuan sungguh sangat dianjurkan untuk mengikuti jejak
petualang (baca ;tasyabbuh) kaum pria[8].
Saat berbicara tentang transgender sangat identik dengan penyimpangan
seksual, anggapan itu tidak sepenuhnya benar, karna kaum transgender dapat mengidentifikasikan dirinya
sebagai orang normal yakni hanya mengeksplorasikan hasrat seksualnya dengan
lawan jenis ( heteroseksual).
Namun kendati demikian saat kita berinteraksi dengan
mereka kita tidak boleh semena-mena memperlakukan mereka atau meremehkan mereka,
kita harus tetap respek dan menjaga perasaan mereka. Dalam hal ini Alloh Ta’ala
menegaskan dalam fimannya
:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ
قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ (الحجرات : 11).
Menurut Al-Thabary dalam tafsirnya: Alloh
telah melarang kita mencemooh orang lain secara absolut, baik karena
kemiskinannya atau karena seorang tersebut melakukan dosa
dll[9], sebab tidak
menutup kemungkinan orang yang dihina itu lebih mulya disisi Alloh
dari pada orang yang menghina, karena
tak jarang dari kaum transgender yang rajin ibadah, inovatif, produktif
dan meraih banyak prestasi.
Jika operasi ganti kelamin jadi pilihan
jalan hidup seorang transgender, bagaimankah respon fiqh?
I.
Hukum operasi alat kelamin:
Pada
hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga
sebagai gejala Trans-seksualisme merupakan suatu gejala ketidak puasan seseorang,
karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan
kejiwaan, ataupun adanya ketidak puasan dengan alat kelamin yang dimilikinya.
Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan make up, gaya dan perilaku, bahkan
sampai kepada operasi penggatian kelamin ( Sex reassignment
surgery). Memang dalam fiqh dikenal sebuah term khunsta
( hermaphrodite ) ,yakni orang
yang mempunyai kelamin ganda atau satu tapi tidak jelas[10],
mereka memang diakui dalam fiqh islam, bahkan para Ulama membahas khunsta
( hermaphrodite ) secara khusus dan intensif dipelbagai bab
dalam buku buku fiqh klasik mulai bab bersuci, sholat,
pernikahan dll, tapi bukan berarti di sini fiqh bersikap diskriminatif pada gender tertentu, melainkan sikap antisipatif
atas hak orang lain, justru hal ini menunjukan betapa pedulinya syari’ah Islam
terhadap manusia tanpa memandang gender tertentu
terkait hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Namun ini sama sekali
berbeda dengan transgender, karna mereka mempunya kelamin yang sempurna
sehingga hukumnya tidak bisa disamakan dengan khunsta .
Melihat problem
yang di derita transgender di atas dengan berbagai alasan apapun maka
pergantian alat vital yang dianggap sebagai solusi bagi mereka tidak dapat
dibenarkan; karna disini termasuk merubah ciptaan Alloh Ta’ala yang tidak
diperbolehkan[11].
Para Ulama’ dalam hal ini bersandar pada Firman Alloh Ta’ala:
وَلاَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيّرُنَّ خَلْقَ الله )النساء : 119.(
II.
Pernikahan sesama jenis:
Pasca pergantian alat kelamin tentunya
mereka juga masih membutuhkan eksplorasi seks sebagai kebutuhan biologisnya, sehingga
mereka membutuhkan pasangan untuk mewujudkannya dengan cara menikah menurut
keyakinan masing masing. Namun, walaupun kini ia secara fisik sudah berubah
total mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki[12] dan
sekalipun sudah mendapatkan legalitas dari pengadilan setempat atas perubahan
gendernya bukan berarti status gendernya kini telah berubah menurut syara’, akan
tetapi masih tetap seperti semula, yang semula laki laki kini tetap laki laki
walaupun kini alat vitalnya berubah menjadi vagina, dan yang perempun masih
tetap perempuan walaupun kini dia mempunyai penis, Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa jika ada
seorang laki laki yang merubah alat vitalnya menjadi perempuan maka tidak boleh
menikah dengan laki-laki, begitu pula sebaliknya, karena persyaratan pernikahan
dalam syari’ah islam adalah dengan lawan jenis. Menikah sesama jenis adalah
pernikahan yang tidak direstui oleh syara’, sebab tindakan tersebut bisa menyebabkan
prilaku homoseksual atau lesbianisme yang dilarang agama.
Homoseksual dalam buku-buku fiqh dikenal dengan istilah “ liwath ”, definisinya
adalah : hubungan seksual yang terjadi diantara sesama pria, Ibnu Qudamah
didalam Al- ughni-nya menegaskan bahwa para ahli ilmu sepakat atas tidak
diperbolehkannya tindak homoseksual[13],
dengan bersandaar pada firman Alloh:
{ وَلُوطًا إذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا
سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ الْعَالَمِينَ إنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ
شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ } (الأعراف: 80).
Sedangkan lesbianisme dalam buku-buku fiqh disebut
dengan istilah “ as-sahaaq ” atau “ al-musahaqoh ”, definisinya adalah : hubungan seksual yang
terjadi diantara sesama wanita. Tak ada khilafiyyah di kalangan fuqoha’ bahwa
lesbianisme hukumnya haram[14].
Dengan bersandar pada sabda Nabi SAW:
إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيتان (رواه أبو موسى الأشعري).
Epilog
Transgender menurut syara’ adalah orang normal hanya saja
mereka mempunya karakteristik berbeda, sehingga tidak ada perbedaan yang
signifikan didalam hukum syara’ dengan orang orang ( non transgender ) , beda
halnya dengan khunsta ( hermaphrodite ) yang statusnya serba susah dimata kita sehingga
ada pembahasan khusus dan intensif di dalam buku buku fiqh terkait kewajiban
dan hak-hak orang lain, walaupun mereka dianggap sebagai seorang abnormal dimata
sosial kita sebagai sesama tidak selayaknya merendahkan atau mencaci mereka, karna
tidak menutup kemungkinan mereka lebih mulia disisi Alloh dari pada kita.
Wallohu a’lam.
*Penulis
adalah mahasiswa tingkat III Fakultas Syariah,
Universitas
Al Ahgaff.
0 Comments