Oleh: Muhammad Syaichu*)
A.
Pembukaan
1.
Bagian proses
kodifikasi Ushul Fiqh Hanafii
2.
Seperti apakah
contohnya
3.
Efek
yang disebakan oleh metode ini?
4.
Jika
dibandingkan dengan ushul fiqh Syafi’iah (jumhur) Madzhab manakah yang lebih
kuat?
Pertanyaan-pertanyaan
di atas menyatakan ide pokok dari penulisan kajian ini. Untuk menjawabnya perlu
kajian mendalam terhadap buku-buku ushul fiqh hanafi secara langsung. Karena
ketterbatasan waktu dan keahlian, akhirnya penulis hanya bias mencapai
informasi yang minim. Dimohon kepada diskusan untuk ikut memperkaya informasi
untuk mrnjawab pertanyaan di atas.
Tinjuan
historis kodifikasian Ushul fiqh Hanafi
Secara
global buku-buku ushul yang pernah saya baca membarikan informasi bahwa ushul
fiqh hanafi disusun degan metode deduksi, artinya ushul mereka ditulis dengan
bertumpu pada furu’ yang telah ditulis
oleh imam mereka. Kemudian para ahli ushul menyimpulkan suatu kaidah yang bias
dijadikan acuan para mujtahid generasi berikutnya.
Setelaah melihat beberapa contoh kitab ushul milik ulama hanafi, seperti ushul kurkhi & al-baidlowi, saya dapat menyimpulkan bahwa informasi di atas adalah benar. Karena memang mereka mengambil kesimpulan kaidah ushuliyyah setelah mereka menyebut contoh-contoh hasil ijtihad imam abu hanifah, abu yusuf & Muhammad bin Hasan.
Namun, ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ulama Hnafiah dalam menyusun kaidah ushuliah terbagi menjadi dua golongan:
1. Golongan yang
memiliki dua keahlian sekaligus. Tulisan mereka sangat compatabel dan akura.
Mereka mampu menjabarkan kaidah ushuliyyah dengan hujjah yang kuat tanpa harus
keluara dari madzhab, contohnya adalah Kitabul Jadal milik Imam Maturidi.
2.
Golongan yang
lebih cenderung ke dalam ilmu fiqh, karena ilmu ushul mereka yang kurang mumpuni,
karya-karya mereka lebih cenderung ke ilmu furu’. Bahkan tidak sedikit yang
mendahulukan pernyataanpernyataan kaidah ushul dari madzhab lain.
Dari keterangan di atas Dr. Jalaluddin Abdurrahman berkesimpulan bahwa pada mulanya ulama hanafiaah memiliki cara penulisan kaidah ushul tersendiri, bukan seperti cara ushul yang masyhur dinisbatkan pada mereka saat ini. Akan tetapi karena cara yang kedua lebih banyak di ikuti oleh ulama mereka. Akhirnya mereka lebih dikenal dengan ulama ushul ala Fuqaha[1]
Ciri-ciri
Ushul Fiqh hanafi
1.
Kaidah ushul
fiqh mereka di dasarkan pada masalah furu’iyyah.
Penyebabnya
adalah karena imam Abu Hanifah tidak meninggalkan kitab yang bberisi kaidah
ushuliyyah yang dapat dijadikan acuan. Tidak heran jika para ulama generaasi
berikutnya terpaksa harus mengambil kaidah ushul dari masalah furu’iyyah yang
sudah ada dengan cara mengambil kesimpulan atas beberapa contoh masalah yang
sama. Untk lebih jelasnya akan saya berikan contoh pada poin berikutnya
2.
Karya-karya
ushul mereka dipenuhi dengan permasalahan-permasalahan fiqh
3.
Terkadang
mereka terpaksa membuat kaidah tersendiri demi mendukung satu permasalahan fiqih
Misalnya mereka telsh membuat kaidah kemudian ada satu masalah yang tidak dapat masuk kaiddah tersebut, karena sang Imam menentukan hokum masalah ini tidak sama dengan masalah-masalah lain yang sejenisnya. Maka mereka membuat kaidah tersendiri untuk mendukung masalah ini.
B.
Contoh
penulisan Ushul Hanafiah
Sebenarnya,
setiaap orang yang membaca kitab ushul hanafiah akan langsung menemukan contoh
metode penulisan ala thoriqatil Fuqaha. Saya akan cukup menuliskan satu contoh
saja.
“lafadz yang bersifat umum mencakup setiap unit di bawahnya secaara qoth’I, artinya semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’I maka sema unit cakupan nya pun tidak dapat dikecualikan dengan dalil yang dhonni.”
“lafadz yang bersifat umum mencakup setiap unit di bawahnya secaara qoth’I, artinya semua unit yang masuk dalam cakupan kata umum hukumnya sama rata dengan lafadz umum tersebut. Jika kata umum tersebut bersifat qoth’I maka sema unit cakupan nya pun tidak dapat dikecualikan dengan dalil yang dhonni.”
Pernyataan di atas merupakan kaidah ushuliyyah yang berlaku untuk semua lafadz umum. Dalam menetapkan kaidah di atas ulama hanafi bertumpu pada masail furu’iyyah yang sudah ada. Diantaranya:
1.
Pendapat
Muhammad bin Hasan tentang permasalahan wasiat.
Jika
ada seseorang berwasiat agar cincinnya diberikan pada si A, kemudian di waktu
lain dia berwasiat agar batu mata cincin tersebut diberikan pada si B. maka si
A berhak mendapatkan ring cincinnya, sedangkan batu mata cicin dibagi dua
antara si A dan si B. hal ini karena kata cincin pada wasiat pertama mencakup
ring cincin dan batu matanya. Sedangkan pada wasiat yang kedua, hanya matanya
saja. Wasiat yang kedua tidak bias mengeliminasi wasiat yang pertama, karena
memang batu mata cincin masuk dalam wasiat pertama, namun karena kedua wasiat
itu sah maka batu mata cincin dibagi dua.
Andai
saja wasiat kedua itu diucapkan pada satu majlis tanpa ada jeda antara dua
wasiat, maka si A hanya berhak ring cincin saja tanpa batu matanya, kaarena
lafadz cincin yang dimaksudkan tidak mencakup batu matanya.
2. Pendapat
Muhammad bin hasan dalam bab Mudhorob ah. Jika Amil dan rabbul mal berselisih
tentang lafadz umum dan khusus, maka yang dimenangkan adalah pihak yang
mengatakan lafadz umum. Hal ini menunjukkan kedudukkannya sejajar.
3.
Madzhab imam
Abu Hanifah dalam mentarjih hadist nabi “ Barang siapa menggali sumur maka ia
memiliki hak atas tanas disekitarnya seluas 40 dziro’. Dan meninggalkan hadits
yang menunjukkan lafadz khusus, yaitu hadits sumur nadhih, yang mengaatakan
bahwa penggalinya berhak atas tanah di sekitarnya seluas 60 dziro’.
4.
Madzhab Abu
hanifah dalam mentarjih hadits : “semua yang disirami dengan air hujan zakatnya
adalah sepersepuluh” dan meninggalkan hadits khusus “tidak wajib zakat atas
sayur-mayur”, dan hadits “ tidak wajib zakat atas hasil panen yang kurang dari
lima ausaq.”
5.
Madzhab Abu
Hanifah yang menjadikan hadits umum : “Hindarilah air kencing karena kebanyakan
adzab kubur adalah dari air kencing”. Sebagai penghapus (nasikh) hadits khusus,
yaitu hadits ‘Uraniyyin yang diperintah minum susu onta dan kencingnya.
Contoh
di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kaidah ushuliah mereka didasarakan pada
masalah furu’iyah. Pernyataan ini di dukung oleh pernyataan tegas Imam
assarkhosy, setelah menyebutkan kaidah ushul di aatas dan sebelum menyebutkan
furu’-furu’ beliau menegaskan : فعلى هذا دلت مسائل علمائنا رحمه الله تعالى
Jika anda masih ingin melihat contoh yang lain silahkan baca referensi terlampir.
C. Pengaruh Metode ini dalam menghasilkan kaidah ushul
Kaidah ushul yang dibuat dengan mengunakan metode
seperti ini sangat baik, jika digunakan untuk mendukung madzhab sendiri. Karena
semua kaidah disesuaikan dengan furu’. Bahkan jika ada beberapa furu’ yang
keluar dari kaidah maka mereka akan membuat kaidah tersendiri untuk mendukung
furu’ tersebut.
Contohnya, kaidah dalam satu contoh yang saya sebutkan
menyatakan bahwa lafadz umum mencakup setiap unit yang ada dibawahnya secara
qoth’i. maka tidak boleh mengecualikan satu unit pun dengan menggunakan dalil
dhonni (seperti qiyas dan hadits ahad)
Ketika dalam furu’ mereka menyebutkan contoh adanya
lafadz umum dan mengecualikan salah satu unit bagiannya.
Dari lafadz umum tersebut dengan menggunakan hadits
yang dhoif, mereka membuat satu kaidah.
Yaitu lafadz umum dapat di takhshis dengan dalil
dhonni (hadits ahad & qiyas) jika lafadz tersebut telah di takhsis
sebelumnya. Ayat :
الزانية والزاني فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة
Menunjukkan bahwa semua orang yang berzina, baik di
dalam Negara islam ataupun di luar Negara islam, harus dicambuk 100x. ulama
hanafi mengatakan bahwa, pezina di luar Negara islam tidak wajib dicambuk.
Dalilnya adalah hadits :
لا تقاموا الحدود في دار الحرب
لا تقاموا الحدود في دار الحرب
Padahal semuanya tahu hadits tersebut dhoif..
Jawaban mereka adalah : Bahwa ayat tersebut sebelumnya
sudah di takhshis maka ia boleh ditakhshis dengan hadits dloif.
Takhshis yang mereka katakan adalah dlomir منها yang kembali pada الزانية والزاني menunjukkan bahwa jika
zinanya bukan laki-laki dan perempuan, maka tidak wajib dicambuk.[2]
Dari contoh ini kita dapat menyimpulkan bahwa kaidah
mereka bersifat fleksibel terhadap furu’nya. Sedangkan kita tahu, bahwa seharusnya
kaidah adalah acuan untuk menentukan hokum furu’. Furu’ lah yang tunduk pada
kaidah, bukan sebaliknya.
Dan inilah salah satu kelemahan metode penulisan ushul
ala thoriqoh fuqoha..
Kelemahan ini pula yang sering digunakan para ulama
yang berbeda paham dengan mereka untuk melemahkan hujjah mereka , karena banyak
furu’ yang tidak sesuai dengan kaidah ushul mereka.
Akan tetapi mereka bukan ulama kelas teri yang tidak
dapat menjawab setiap badai yang dating. Mereka selalu memiliki seribu alas an
untuk menjawab semua pertanyaan.
D. Perbandingan Antara Ushul fiqih jumhur dan ushul fiqh
hanafiyah
Setelah membaca sekilas pemaparan tentang ushul fiqh
hanafiah, kesimpulan saya adalah bahwa ushul jumhur lebih kuat dan dapat
dipertanggung-jawabkan. Karena beberapa alasan:
1. Ushul Fiqh jumhur memiliki acuan yang paten dari satu sumber yang
memungkinkan keseragaman seluruh kaidah tanpa harus membuat-buat kaidah baru
demi mendukung madzhab. Bahkan tidak sedikit ketetapan madzhab dirubah karena
tidak sesuai dengan kaidah ushul.
Sedangkan ushul hanafiah membuat kaidah demi
menguatkan ketentuan madzhab.
2. Karya-karya ushul fiqh jumhur murni pendekatan kaidah
ushul fiqh, sehingga hasilnya merupakan sebuah kaidah yang menjadi barometer
dalam mengambil hokum furu’, Sedangkan karya-karya ushul fiqh hanafiah penuh dengan
perdebatan fiqh, dan jauh dari perdebatan ushul. Hal ini menjadikan hasil
kaidah ushul mereka kurang luas dan terlalu sempit pada beberapa contoh kasus
furu’ saja.
3. Ilmu mantiq sebagai pendukung ilmu ushul fiqh jumhur
tidak banyak digunakan oleh ushul fiqh hanafi. Hal ini menyebabkan ushul fiqh
hanafi kurang rasional. Meskipun kadar irasionalnya sangat rendah.
Terlepas dari itu semua ada beberapa kesamaan ushul
fiqh jumhur dan hanafi dalam karya-karya mereka yang menjadikan kita tidak
boleh mengesampingkan ushul fiqh hanafi.
Di samping itu ada beberapa ulama yang telah mencoba
mempertemukan kedua perguruan itu. Diantaranya adalah : jam’ul jawami’,
at-tahrir & at-tanqih.
Bahkan dari kajian yang dilakukan para ulama menunjukkan bahwa hanya ada sedikit perbedaan antara dua perguruan ushul tersebut.
E. Penutup
Demikianlah sedikit kajian yang dapat saya tulis. Saya yakin kajian ini banyak memiliki kekurangan. Dengan sangat rendah hati saya berharap kepada para diskusan untuk mengkritisi kajian ini dengan tanpa mengabaikan etika ilmiah.
Jika diskusan berkenan membuat kajian tandingan maka
akan lebih menarik!
F. Sumber / Lampiran
1. Ghoyatul Wushul ila daqoiqil ilmil ushul, Dr. Jalaluddin Abdurrahman
2. Atsarul adillah al-mukhtalaf fiha, Dr. Musthofa Bugho,
Maktabah dar ilm bairut lebanon
3. Atsarul Ikhtilah, Dr. Musthofa Khin
4. UShulul sarkhosi, Mahmud bin ahmad assarkhosi
5. Kasyful asror syarah ushulul baidlawi, Abdul Aziz bin
Ahmad al-Bukhori
6. Al-Wajiz fi Ushul fiqh, Dr. Hasan Hito
7. At-talwih ala taudhih, sa’duddin at-taftazani
8. Al-fushul fil ushul, Abu Bakr Jashos
*) Penulis adalah
Mahasiswa tingkat V, Kuliyyah Syarea Universitas al-Ahgaff tarem Hadramaut
Yaman
0 Comments